🇮🇩 Sastrawan Indonesia
1. Pramoedya Ananta Toer
-
Intelektualitas: Sangat tinggi. Ia banyak bicara soal sejarah, kolonialisme, nasionalisme, dan perlawanan struktural.
-
Bahasa: Meski berpijak pada ide-ide besar, gaya bahasanya khas rakyat. Kalimatnya panjang, bertenaga, dan menggunakan idiom serta perumpamaan yang akrab di telinga masyarakat desa.
-
Contoh: “Bumi Manusia” dan “Tetralogi Pulau Buru” bisa dibaca tukang becak maupun dosen.
2. Ahmad Tohari
-
Intelektualitas: Halus dan reflektif. Ia membahas soal ketimpangan sosial, keagamaan, konflik politik, dan keadilan dengan pendekatan kemanusiaan.
-
Bahasa: Sederhana dan khas desa. Karakteristik cerita pedesaan dalam "Ronggeng Dukuh Paruk" sangat akrab bagi pembaca dari kampung.
-
Hebatnya: Orang kampung bisa merasa itu kisah mereka sendiri.
3. WS Rendra
-
Intelektualitas: Mendalam dan filosofis. Banyak bicara soal kemanusiaan, ketidakadilan, dan kegagalan negara.
-
Bahasa: Dalam puisi dan dramanya, ia sering pakai bahasa sehari-hari. Bahkan dalam ceramah dan orasi, Rendra bisa turun ke bahasa rakyat tanpa kehilangan daya pukul intelektualnya.
4. Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)
-
Intelektualitas: Multidimensi: agama, sosial, politik, budaya, spiritual.
-
Bahasa: Dikenal sangat fleksibel. Ia bisa bicara ke ilmuwan pakai logika filsafat, lalu lima menit kemudian bercanda pakai bahasa kampung dengan tukang parkir. Ia paham cara berpikir rakyat.
-
Kuncinya: Cak Nun tidak merasa lebih tinggi dari pendengarnya.
5. YB Mangunwijaya
-
Intelektualitas: Teolog, arsitek, sastrawan, pendidik.
-
Bahasa: Meski sering bicara soal iman, kemiskinan struktural, dan kritik sosial, dia tetap menggunakan bahasa yang bisa dicerna anak-anak desa. Sangat humanis.
🌍 Sastrawan Dunia
1. Leo Tolstoy (Rusia)
-
Tema: Agama, moralitas, perlawanan kelas, kehidupan petani.
-
Bahasa: Dalam novel-novelnya, banyak bagian yang menggambarkan kehidupan rakyat jelata dengan penuh empati dan bahasa yang membumi.
-
Contoh: “Kebangkitan”, “Anna Karenina”, “The Death of Ivan Ilyich”.
2. Ngũgĩ wa Thiong’o (Kenya)
-
Intelektualitas: Teori poskolonial, bahasa, pendidikan.
-
Bahasa: Setelah bertahun-tahun menulis dalam Inggris, dia beralih menulis dalam bahasa ibu (Kikuyu) agar bisa diakses masyarakat pedesaan.
-
Sikap: Percaya bahwa bahasa ibu adalah alat pembebasan rakyat.
3. Gabriel García Márquez (Kolombia)
-
Tema: Politik Amerika Latin, magis dan realitas rakyat.
-
Bahasa: Meski mengandung filsafat dan metafora berat, gaya ceritanya mengalir dan mudah diikuti—termasuk oleh pembaca dari desa.
-
Karya: “Seratus Tahun Kesunyian”, “Kabar Burung Mati”.
🔍 Apa yang Mereka Punya?
-
Kedalaman ilmu dan pandangan hidup.
-
Penghormatan terhadap rakyat kecil.
-
Kesadaran bahwa ilmu bukan untuk mempersulit, tapi memerdekakan.
-
Bahasa yang diolah, bukan untuk pamer, tapi untuk nyambung.
Tidak ada komentar: